Yesus Kau Andalanku ... Yesus Kau Andalanku ... Yesus Kau
Andalankuuuu ... Engkau Andalanku ... Sepanjang Hidupku ... Ya jalan salib yang
mendaki dan angin yang dingin, kami mengandalkan Tuhan Yesus agar selalu
menemani hidup kami.
Tiba akhirnya di perhentian terakhir hari sudah terang
dengan cuaca cerah. Puji Tuhan.
Menuruni bukit, kami berhenti sejenak untuk melepaskan
rosario kami di sebuah batu. Di situ banyak rosario yang diletakkan berharap
suatu hari bisa kembali ke Lourdes.
Hari ini kami akan melakukan misa di depan Grotto dalam
bahasa Indonesia. Untuk bisa misa di depan grotto perlu persetujuan dari paroki
setempat karena jadwal yang padat. Beruntunglah kami bisa tepat waktu datang
pukul 10 di depan grotto dan selain romo Nuruto ada juga pastor lain yang juga
ikut dalam misa kami. Selesai misa, ada yang menulis intensi dan memasukkannya
ke dalam sebuah kotak di dekat grotto, setelah itu berjalan dan mengusap
dinding gua untuk merasakan embun air, berdoa di depan patung Bunda Maria Immaculata
(Akulah yang dikandung tanpa noda) dan mengucap syukur. Kemudian kami berfoto
dengan latar belakang basilika.
Karena kami mulai berpencar, jadwal untuk ke rumah Bernadete
tidak kesampaian.
Kami memilih mengantri untuk mandi karena antrian pagi sudah
ditutup maka antrian akan dibuka lagi sekitar pukul 13.30. Pukul 11 antrian
masih pendek di seberang sungai. Antrian pria dan wanita dipisah. Panjang
antrian kira-kira tidak lebih dari 3 meter untuk pria dan 10 meter untuk wanita. Kami
rela untuk tidak makan siang di restoran dan memberikan kepercayaan kepada mba
Rossa untuk menitipkan box makan siang ke kamar kami. Cuaca cerah dan mulai
panas. Hawa dingin mulai beralih ke hangat, meskipun angin dingin kadang
semilir-semilir melewati peserta yang antri. Satu jam sudah lewat, antrian
makin panjang. Pukul 13 kami masih menunggu dibukanya pintu antrian. Banyak
yang mulai membuka payung untuk menghalau sinar matahari yang lumayan cerah.
Menjelang pukul 14 antrian mulai dibuka. Banyak yang berebut untuk masuk, tidak
peduli barisan dan mulai kacau. Antrian wanita yang paling panjang.
Akhirnya rombongan pria yang lebih sedikit bisa masuk. Kami
mulai masuk dan duduk di kursi panjang di luar ruangan. Sampai pada akhirnya
mulai masuk ruangan di dalam. Di sana ada bilik-bilik untuk mandi. Satu bilik
mandi bisa memuat 3 orang untuk antri dicelupkan di kolam. Biasanya ada 3 orang
relawan di dalam bilik tersebut. Kamar tersebut ditutupi kain putih sebagai
pemisah. Di dalam kamar tersebut semua pakaian ditanggalkan termasuk celana
dalam. Di dalam kamar kami hanya boleh pakai celana dalam saja. Lalu ketika
sudah ada yang selesai dicelupkan, relawan memanggil yang sudah siap untuk
masuk ke ruang kolam. Ada 2 relawan yang siap membantu saya untuk membasuh
badan. Saya diminta untuk menghadap tembok. Lalu seorang relawan menutupi badan
saya dengan kain dari belakang. Saya disuruh untuk melepas celana dalam dan
selanjutnya kain tersebut mengikat badan bagiah bawah. Kemudian dibantu untuk
masuk ke dalam kolam dan jongkok. Kemudian relawan meminta kita untuk berdoa
dalam hati, dan mendoakan mereka. Ketika sudah siap badanku ditenggelamkan ke
dalam kolam lalu diangkat lagi. Setelah itu mendoakan Santa Bernadete dan
mencium patung Bunda Maria. Keluar dari kolam, seketika air langsung kering.
Lalu memakai cd lagi dan relawan tersebut melepaskan kain penutup badan.
Selesai dari kolam, segera pakai baju lagi dan jaket karena mulai kedinginan..
brrr.. meskipun di dalam ruangan, karena tadi habis dicelupkan air, baru terasa
badan mulai kedinginan menggigil.
Ritual basuh badan untuk rombongan pria sudah selesai. Kami
melihat ternyata rombongan wanita masih tertahan antrian. Ternyata mereka
diselak oleh banyak orang. Saya sempat kembali ke hotel untuk makan nasi box dan
menaruh tas titipan para wanita yang mengantri. Saya kembali ke basilika untuk
mengisi air ke dalam jerigen kecil di dekat jembatan. Kemudian kembali ke
antrian. Walah ternyata rombongan wanita masih belum masuk juga. Antri dari jam
11 hingga pukul 16 masih belum masuk. Ada yang bertahan dan ada juga yang
mundur karena pukul 17 sudah pasti tidak dibuka lagi antriannya. Saya dan istri
akhirnya menyalakan lilin sebagai simbol agar harapan tetap menyala di dalam
perjalanan hidup kami.
Tempat lilin yang masih baru berbeda dengan yang sudah
dinyalakan. Beberapa lilin yang sudah tidak menyala dipindahkan ke tempat lilin
yang tinggal separuh. Kami menyalakan kembali lilin-lilin yang tinggal separuh
dan tidak menyala. Lalu mendirikannya secara teratur supaya harapan mereka yang
menyalakan lilin tetap selalu menjadi terang bagi sesama.