Sarapan pagi di hotel, seorang pelayan sempat marah karena
waktu belum menunjukkan 6.30 tetapi kami dari rombongan sudah berkumpul di
sekitar buffet dan sempat mengambil makanan.
Pak Alfons tampak tidak mudeng dengan ocehan sang pelayan
yang tiba-tiba menarik meja berroda dan tidak sengaja menyenggol vas bunga.
Kemudian Romo Nuruto yang baru tiba di ruangan dengan wajah bingung ketika
melihat sang pelayan marah-marah. Semua rombongan kami yang sudah berkumpul
malah senyum-senyum. Akhirnya kami makan pagi bersama di ruangan tersebut tepat
pukul 6.30
Cote de Azzure itulah julukan bagi kota Nice. Kesibukan kota
Nice di pagi hari yang masih gelap mulai tampak. Jalanan kota yang kecil mulai
ramai dan menimbulkan kemacetan. Kami mulai meninggalkan hotel dan bus yang
membawa kami terasa menghabiskan tempat di jalan dan mengganggu kendaraan yang
lalu lalang. Klakson pun mulai menyanyi dan dimulailah aktivitas warga kota
ini. Lampu lalu lintas yang selalu ada di setiap perempatan membuat bus berjalan
lambat. Kota dengan pemandangan indah ke laut mediterania mulai terpapar sinar
matahari ketika kami mulai beranjak meninggalkan tempat ini.
Perjalanan yang berkelok-kelok menanjak bukit dengan
pemandangan lepas ke laut mediterania menyejukkan kalbu. Tak terasa kami mulai
lupa hari dan waktu.
Bila dalam 2 hari sebelumnya kami menikmati perjalanan
ziarah di Nevers dan Lourdes, kali ini waktu membawa kami untuk berekreasi. Pak
Marco perlahan mulai memperlambat laju bus dan menuju lokasi parkir. Kira-kira
pukul 9 kami diajak untuk melihat seni pembuatan parfum di Galimard.
Menurut pemandu, para pesohor sering memesan parfum di
Galimard ini. Namun jangan dibayangkan akan menemukan merek parfum para pesohor
tersebut. Di sini parfumnya tidak bermerek. Tapi dijamin bila setelah mencium
bau parfumnya dan membandingkan dengan yang bermerek, bisa dibilang sama. Jadi
sebelum diberi label oleh pesohor, mereka memesannya di tempat ini.
Kami disambut dengan ramah oleh pelayan toko. Mereka
berpakaian rapi. Yang pria menggunakan jas hitam dan wanita menggunakan blus
hitam. Dan tentu saja wangi!
Sebelum berbelanja, kami diarahkan ke suatu tempat untuk
diberikan wawasan tentang bagaimana parfum itu dibuat. Kami dijelaskan tentang
sejarah pembuatan parfum dan tanaman yang menjadi bahan pembuatannya. Dari
Indonesia sendiri ada tanaman Vetifer atau Sereh. Lalu kami melewati beberapa
ruangan, seperti laboratorium dan akhirnya tiba di toko dengan berbagai etalase
parfum.
Lumayan sudah mendapat sedikit semprotan dari sample parfum
membuat badan terasa wangi. Kami lanjutkan perjalanan menuju negara Monako.
Negara Monako dengan sekitar 36.000 penduduk merupakan negara bebas pajak.
Parkir kendaraan di negeri ini sangat mahal.
Sampailah kami di suatu bangunan, lalu kami menaiki
eskalator dan lift kemudian tiba di tempat seperti museum maritim. Lalu
beranjak terus dan tiba di gereja Santo Nikolas. Kami misa di tempat ini.
Setelah itu melihat-lihat ruangan gereja yang dipenuhi nuansa emas. Di tempat
ini ada makam ratu Monako, Grace Kelly. Bagi Oma Opa yang sudah berusia lanjut,
mereka mengetahui cerita tentang Grace Kelly dan Pangeran Reiner. Saya sendiri
baru tahu ketika menjejakan kaki di negara ini. Kemudian kami keluar gereja dan
melihat pemandangan cantik kota Monaco dengan laut mediteranianya. Kami
bersantap di kafe dengan berjalan kaki sebentar. Tempatnya cukup unik.
Pelayannya ramah. Mereka sigap menyajikan makanan demi makanan.
Kembali ke bus kami mulai meninggalkan kota Monaco. Di
sepanjang jalan kami sempat melihat lapangan yang digunakan semacam pasar
malam. Di situ ada komidi putar dan tempat mainan anak-anak. Ternyata tempat
itu bila ada ajang kompetisi Formula 1 adalah podium untuk penonton. Sedangkan
jalan yang kami sedang lalui adalah jalan yang digunakan untuk lomba balapan
Formula 1. Jalanannya cukup sempit dan berkelok-kelok. Bisa dibayangkan betapa
sulitnya para pebalap untuk bisa mengemudikan kendaraannya di jalan ini.
Sambil menikmati perjalanan, kami melihat kapal yacht dan
kapal pesiar yang sedang parkir di pelabuhan Monako. Banyak turis yang
berkunjung ke negeri ini melalui jalan darat maupun jalan laut. Begitu banyak
kapal yacht yang parkir sampai-sampai ada yang menyeletuk di dalam bus,
"Pah pah, kuncinya di mana, kunci kapal kita itu lho" celetuk Tante
Ing kepada suaminya Pak Alfons. Hahahaha ... dagelan terus.
Tak terasa, sudah banyak terowongan dilewati. Sudah banyak
jembatan pula diseberangi. Akhirnya kami tiba di perbatasan antara Perancis dan
Italia. Pada hari ini Romo Nuruto berulang tahun. Betapa berbahagianya beliau
bisa merayakan ulang tahun di tiga negara: Perancis (di kota Nice), Monaco, dan
Italia. Panjang umur Romo.
Di daerah perbatasan selalu ada bendera Uni Eropa dan
bendera negara yang bersangkutan. Tempat perbatasan, dahulunya banyak toko
suvenir, tempat penukaran uang dan tentu saja pos imigrasi. Sekarang sudah
tidak ada lagi. Dulu sebelum Italia bergabung dengan Eropa, mata uang mereka
adalah Lira. Kurs rupiah pada waktu itu sekitar 300 rupiah untuk 1 lira. Dulu
bila ingin beli sepatu kulit di Italia, hanya sekitar 150.000 rupiah. Ketika
menjadi Euro, barang-barang terasa menjadi mahal.
O ya kami berhenti sejenak di sebuah toko oleh-oleh dan
tentu saja 'pis tour'. Di toko ini dijual minuman anggur, aneka coklat, dan
beberapa snack. Kami boleh mencicipi anggur sebelum membeli. Dilayani oleh
manajer toko yang beretnis India, dengan ramah ia melayani kami dengan sabar.
Puas dengan beli snack kami lanjut
menuju Pisa.
Akhirnya kami tiba di terminal bus di Pisa. Karena hari
sudah mulai senja, bus wisata gratis dari terminal tidak bisa mengantar ke
menara Pisa. Apa boleh buat kami harus berjalan kaki sekitar 1km ke menara
Pisa. Kami melewati jalan kecil secara bersama kemudian melewati rel kereta api
lalu tibalah di pelataran menara Pisa. Hari sudah gelap dan kami hanya berfoto
dari halaman menara Pisa. Tidak sampai 30 menit kami di sini, kami lanjut
kembali untuk ke terminal bus. Tetapi karena jalan yang jauh mbak Rosa mencoba
menyewa kendaraan odong-odong. Sempat terjadi penyerangan terhadap rombongan
kami. Tante Epi sempat akan dijambret tasnya oleh sekelompok orang namun sempat
digagalkan oleh kami. Dari pengalaman ini, maka perlulah jalan berkelompok dan
tidak memisahkan diri. Apalagi kebanyakan dari rombongan kami adalah wanita.
Kami menunggu mobil odong-odong yang akan membawa kami ke
restoran. Beberapa sopir odong-odong menolak mengantarkan kami kembal ke
terminal. Akhirnya mbak Rosa menelpon seseorang dan ternyata pemilik restoran
menyewa odong-odong dan mengemudikannya sampai ke restoran. Pertama kali makan
di negeri Italia seperti de javu ketika makan di negeri Perancis di hari pertama.
Ya, kami mendapatkan kembali sup air hujan alias tak ada rasa. Untunglah ada
telor dadar, favorit rombongan.