Menu Melayang

Tuesday, November 14, 2017

Hari Keenam Perjalanan Rohana di Monako



Sarapan pagi di hotel, seorang pelayan sempat marah karena waktu belum menunjukkan 6.30 tetapi kami dari rombongan sudah berkumpul di sekitar buffet dan sempat mengambil makanan.
Pak Alfons tampak tidak mudeng dengan ocehan sang pelayan yang tiba-tiba menarik meja berroda dan tidak sengaja menyenggol vas bunga. Kemudian Romo Nuruto yang baru tiba di ruangan dengan wajah bingung ketika melihat sang pelayan marah-marah. Semua rombongan kami yang sudah berkumpul malah senyum-senyum. Akhirnya kami makan pagi bersama di ruangan tersebut tepat pukul 6.30

Cote de Azzure itulah julukan bagi kota Nice. Kesibukan kota Nice di pagi hari yang masih gelap mulai tampak. Jalanan kota yang kecil mulai ramai dan menimbulkan kemacetan. Kami mulai meninggalkan hotel dan bus yang membawa kami terasa menghabiskan tempat di jalan dan mengganggu kendaraan yang lalu lalang. Klakson pun mulai menyanyi dan dimulailah aktivitas warga kota ini. Lampu lalu lintas yang selalu ada di setiap perempatan membuat bus berjalan lambat. Kota dengan pemandangan indah ke laut mediterania mulai terpapar sinar matahari ketika kami mulai beranjak meninggalkan tempat ini.     

Perjalanan yang berkelok-kelok menanjak bukit dengan pemandangan lepas ke laut mediterania menyejukkan kalbu. Tak terasa kami mulai lupa hari dan waktu.

Bila dalam 2 hari sebelumnya kami menikmati perjalanan ziarah di Nevers dan Lourdes, kali ini waktu membawa kami untuk berekreasi. Pak Marco perlahan mulai memperlambat laju bus dan menuju lokasi parkir. Kira-kira pukul 9 kami diajak untuk melihat seni pembuatan parfum di Galimard.

Menurut pemandu, para pesohor sering memesan parfum di Galimard ini. Namun jangan dibayangkan akan menemukan merek parfum para pesohor tersebut. Di sini parfumnya tidak bermerek. Tapi dijamin bila setelah mencium bau parfumnya dan membandingkan dengan yang bermerek, bisa dibilang sama. Jadi sebelum diberi label oleh pesohor, mereka memesannya di tempat ini.

Kami disambut dengan ramah oleh pelayan toko. Mereka berpakaian rapi. Yang pria menggunakan jas hitam dan wanita menggunakan blus hitam. Dan tentu saja wangi!

Sebelum berbelanja, kami diarahkan ke suatu tempat untuk diberikan wawasan tentang bagaimana parfum itu dibuat. Kami dijelaskan tentang sejarah pembuatan parfum dan tanaman yang menjadi bahan pembuatannya. Dari Indonesia sendiri ada tanaman Vetifer atau Sereh. Lalu kami melewati beberapa ruangan, seperti laboratorium dan akhirnya tiba di toko dengan berbagai etalase parfum.

Lumayan sudah mendapat sedikit semprotan dari sample parfum membuat badan terasa wangi. Kami lanjutkan perjalanan menuju negara Monako. Negara Monako dengan sekitar 36.000 penduduk merupakan negara bebas pajak. Parkir kendaraan di negeri ini sangat mahal.

Sampailah kami di suatu bangunan, lalu kami menaiki eskalator dan lift kemudian tiba di tempat seperti museum maritim. Lalu beranjak terus dan tiba di gereja Santo Nikolas. Kami misa di tempat ini. Setelah itu melihat-lihat ruangan gereja yang dipenuhi nuansa emas. Di tempat ini ada makam ratu Monako, Grace Kelly. Bagi Oma Opa yang sudah berusia lanjut, mereka mengetahui cerita tentang Grace Kelly dan Pangeran Reiner. Saya sendiri baru tahu ketika menjejakan kaki di negara ini. Kemudian kami keluar gereja dan melihat pemandangan cantik kota Monaco dengan laut mediteranianya. Kami bersantap di kafe dengan berjalan kaki sebentar. Tempatnya cukup unik. Pelayannya ramah. Mereka sigap menyajikan makanan demi makanan.

Kembali ke bus kami mulai meninggalkan kota Monaco. Di sepanjang jalan kami sempat melihat lapangan yang digunakan semacam pasar malam. Di situ ada komidi putar dan tempat mainan anak-anak. Ternyata tempat itu bila ada ajang kompetisi Formula 1 adalah podium untuk penonton. Sedangkan jalan yang kami sedang lalui adalah jalan yang digunakan untuk lomba balapan Formula 1. Jalanannya cukup sempit dan berkelok-kelok. Bisa dibayangkan betapa sulitnya para pebalap untuk bisa mengemudikan kendaraannya di jalan ini.

Sambil menikmati perjalanan, kami melihat kapal yacht dan kapal pesiar yang sedang parkir di pelabuhan Monako. Banyak turis yang berkunjung ke negeri ini melalui jalan darat maupun jalan laut. Begitu banyak kapal yacht yang parkir sampai-sampai ada yang menyeletuk di dalam bus, "Pah pah, kuncinya di mana, kunci kapal kita itu lho" celetuk Tante Ing kepada suaminya Pak Alfons. Hahahaha ... dagelan terus.

Tak terasa, sudah banyak terowongan dilewati. Sudah banyak jembatan pula diseberangi. Akhirnya kami tiba di perbatasan antara Perancis dan Italia. Pada hari ini Romo Nuruto berulang tahun. Betapa berbahagianya beliau bisa merayakan ulang tahun di tiga negara: Perancis (di kota Nice), Monaco, dan Italia. Panjang umur Romo.

Di daerah perbatasan selalu ada bendera Uni Eropa dan bendera negara yang bersangkutan. Tempat perbatasan, dahulunya banyak toko suvenir, tempat penukaran uang dan tentu saja pos imigrasi. Sekarang sudah tidak ada lagi. Dulu sebelum Italia bergabung dengan Eropa, mata uang mereka adalah Lira. Kurs rupiah pada waktu itu sekitar 300 rupiah untuk 1 lira. Dulu bila ingin beli sepatu kulit di Italia, hanya sekitar 150.000 rupiah. Ketika menjadi Euro, barang-barang terasa menjadi mahal.

O ya kami berhenti sejenak di sebuah toko oleh-oleh dan tentu saja 'pis tour'. Di toko ini dijual minuman anggur, aneka coklat, dan beberapa snack. Kami boleh mencicipi anggur sebelum membeli. Dilayani oleh manajer toko yang beretnis India, dengan ramah ia melayani kami dengan sabar. Puas  dengan beli snack kami lanjut menuju Pisa.

Akhirnya kami tiba di terminal bus di Pisa. Karena hari sudah mulai senja, bus wisata gratis dari terminal tidak bisa mengantar ke menara Pisa. Apa boleh buat kami harus berjalan kaki sekitar 1km ke menara Pisa. Kami melewati jalan kecil secara bersama kemudian melewati rel kereta api lalu tibalah di pelataran menara Pisa. Hari sudah gelap dan kami hanya berfoto dari halaman menara Pisa. Tidak sampai 30 menit kami di sini, kami lanjut kembali untuk ke terminal bus. Tetapi karena jalan yang jauh mbak Rosa mencoba menyewa kendaraan odong-odong. Sempat terjadi penyerangan terhadap rombongan kami. Tante Epi sempat akan dijambret tasnya oleh sekelompok orang namun sempat digagalkan oleh kami. Dari pengalaman ini, maka perlulah jalan berkelompok dan tidak memisahkan diri. Apalagi kebanyakan dari rombongan kami adalah wanita.

Kami menunggu mobil odong-odong yang akan membawa kami ke restoran. Beberapa sopir odong-odong menolak mengantarkan kami kembal ke terminal. Akhirnya mbak Rosa menelpon seseorang dan ternyata pemilik restoran menyewa odong-odong dan mengemudikannya sampai ke restoran. Pertama kali makan di negeri Italia seperti de javu ketika makan di negeri Perancis di hari pertama. Ya, kami mendapatkan kembali sup air hujan alias tak ada rasa. Untunglah ada telor dadar, favorit rombongan.

Blog Post

Related Post

Back to Top

Cari Artikel